Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wanita Hamil Dan Menyusui, Qadha Atau Fidyah ?




Oleh Ustadz Berik Said hafizhahullah

Jika ada seorang wanita yang saat masuk bulan Ramadhan dia dalam posisi hamil atau dalam posisi meyusui anaknya dan ia memilih tidak berpuasa, maka apakah baginya bayar fidyah atau mengqadhanya (mengganti puasanya) atau bagaimana ?

Dalam hal ini Ulama berbeda pendapat yang ringkasnya sebagai berikut

Pendapat pertama, wajib baginya mengganti (qadha) setelah masa menyusui selesai. Alasan utamanya mereka ini diqiaskan dengan orang sakit bukan sakit permanen yang diberi keringanan berbuka tetapi ia harus menggantinya dihari lain setelah sembuh.

Pendapat kedua, cukup bayar fidyah saja tanpa mengqadhanya (alasannya akan disebutkan sebentar lagi, insya Allah).

Pendapat ketiga, mengqadha dan membayar fidyah.

Pendapat keempat, tidak usah mengqadha dan tidak usah membayar fidyah.

Karena khawatir terlalu panjang dan maaf mungkin bagi pemula kalau kami sebutkan semua dalil masing-masing pihak akan memusingkan, maka untuk sementara pada kesempatan kali ini ana akan menyampaiakan pendapat yang ana anggap paling terkuat dalam masalah ini.

Pendapat Terkuat

Yang terkuat dalam masalah ini, sebatas pengetahuan ana adalah pendapat kedua, yakni tidak usah mengqadhanya tapi cukup membayar fidyah saja.

Beberapa alasan mengapa pendapat ini ana menganggap terkuat.

Alasan pertama, Firman Allah Ta’ala:


وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ

"Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin". (QS. Al Baqarah: 184 )

Sipakah yang dimaksud الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ (orang-orang yang berat menjalannya pada ayat diatas) ?

Ulama sepakat, diantaranya ditujukan kepada:

Laki-laki/wanita yang sudah amat sepuh dan tidak kuat lagi untuk puasa. Tidak mungkin mereka menggantinya di lain hari karena jelas semakin hari semakin sepuh dan secara umum semakin tidak mampu lagi mereka berpuasa, maka bagi mereka cukup bayar fidyah.

Orang yang memiliki penyakit medis permanen yang tidakk memungkinnya untuk berpuasa, seperti penderita penyakit Magh/magh akut yang jika dibawa puasa jelas tidak akan sanggup, dan penyakit itu secara medis dinyatakan permanen, sehingga tidak mungkin baginya untuk menggantinya di lain waktu, maka cukup baginya fidyah dan tentu tak perlu mengqadha.

Bagaiman dengan wanita hamil atau sedang menyusui anaknya ? Apakah disamakan kedudukannya dengan dua contoh perkara di atas atau diqiyas dengan orang yang hanya sakit sementara yang tetap berkewajiban mengganti puasanya di kala sudah sembuh ?

Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan kondisi wanita yang hamil sebagai:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

"Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnyandalam usia dua tahun". (QS. Luqman: 14)

Tidak diragukan lagi dari ayat tersebut, wanita hamil secara umum adalah wanita yang bukan saja lemah, bahkan semakin bertambah lemah. Ulama pun sepakat mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Hanya masalahnya, Ulama berbeda pendapat tentang apakah nantinya wanita semacam ini mengqadha atau cukup membayar fidyah, sebagaimana ringkasan perbedaan pendapat dalam masalah ini telah kami isyaratkan diatas.

Tetapi telah ana sampaikan bahwa yang benar untuk wanita dalam kasus ini adalah cukup membayar fidyah dan tidak usah mengqadhanya dengan dalil keumuman ayat diatas yakni:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَا مُ مِسْكِيْنٍ

"Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin". (QS. Al Baqarah: 184 )

Alasan kedua, dan hal ini sesuai dengan pendapat dua Shahabat Nabi yang senior berikut

Pertama, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:

عن ابن عباس: أنه رأى أم ولد له حاملا أو مرضعا فقال : أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau pernah ditanya tentang seorang sedang hamil atau menyusui anaknnya". Maka Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mejawab: "Kedudukanmu sama seperti kedudukan orang yang tidak sanggup berpuasa, maka hendaklah engkau memberikan makan kepada satu orang miskin setiap hari, dan tidak ada kewajiban qadha". [HR. Al-Bazar dalam Musnad-nya 4996 dan Daraquthni dalam sunannya 2382, Ad Daraquthni berkata, Ini adalah isnad yang shahih]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menyatakan:

إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها  في رمضان، يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً

"Jika seorang wanita hamil mengkhawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkhawatirkan anaknya di bulan Ramadhan, maka keduanya boleh berbuka dan (membayar fidyah) memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan keduanya tidak usah mengqadhanya". [HR. At-Thabrani 2758, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam Irwaa’ul Ghalil IV:19, sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim]

Kita tahu Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ini seorang Ahahabat senior pakar tafsir yang telah didoakan khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menerima pendapatnya agaknya lebih mententramkan jiwa.

Kedua, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, Naafi’ rahimahullah mengisahkan sebagaimana terdapat dalam riwayat Daraquthni:

أن امرأته سألته وهى حبلى ، فقال: أفطرى وأطعمى عن كل يوم مسكينا ولا تقضى

Istri Ibnu ‘Umar saat hamil pernah bertanya, maka beliau menjawab: "Berbukalah dan berilah (fidyah) dengan cara memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan kamu tidak usah mengqadhanya". [Kata Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwaa’ul Ghalil IV:20, sanadnya jayyid/bagus]

Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma keduanya juga pernah menyatakan:

الحامل والمرضع تفطر ولا تقضى

"Wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui anak silahkan berbuka, tidak usah mengqadhanya". [Kata Al-Albani rahimahullah dalam Irwaa’ul Ghalil IV:20, shahih]

Alasan ketiga, kita tahu wanita yang menyusui anakanya itu baru selesai penyapihan selama dua tahun. Jika dia harus mengqadha, maka kapan mengqadhanya, dan bagaimana lagi jika wanita yang masih menyusui anak itu belum selesai dua tahun menyusui anaknya, dia hamil lagi. Boleh jadi ini bisa berlangsung sampai berturut-turut puluhan tahun karena dia terus menyambung dengan kehamilan barunya. Kalau harus diqadha, maka apakah nanti akan dirapel sekian tahun lamanya dia tidak berpuasa ? Tentu ini akan sangat memberatkan.

Perlu kami tambahkan pendapat ini adalah pendapat yang didukung Syaikh Al Albani rahimahullah (lihat Irwaa’ul Ghalil IV:17-25). Dan muridnya seperti Syaikh Ali Abdul Hamid Al Halabi hafizhahullah dalam Kitabnya Shifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesimpulan, bagi wanita yang sedang hamil dan menyusui anaknya, terlebih bagi yang mengkhawatirkan jika dengan berpuasa dalam kondisi hamil atau menyusui anaknya itu memberatkannya, maka boleh baginya tidak berpuasa dan cukup baginya membayar fidyah dan tidak usah mengqadhanya.

Namun dalam hal ini ada cukup kuat perbedaan pendapat Ulama, maka seyogyanya tetap saling menghargai kalaupun ada yang berbeda pendapat dalam hal semacam ini.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

______
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

Telegram: http://t.me/Manhaj_salaf1
Youtube: http://youtube.com/ittibarasul1
Group WhatsApp: http://wa.me/6289665842579
Twitter: http://twitter.com/ittibarasul1
Web: dakwahmanhajsalaf.com
Instagram: http://Instagram.com/ittibarasul1
Facebook: http://fb.me/ittibarasul1

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

2 komentar untuk "Wanita Hamil Dan Menyusui, Qadha Atau Fidyah ?"

  1. Afwan, itu group WA yg tertera khusus akhwat atau ikhwan ?

    BalasHapus
  2. Ikhwan dan akhawat, groupnya terpisah.

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan bijak