Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adab Saat Berhubungan Intim Suami Istri






Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Adab Pertama, niatkan Ikhlas melakukan hubungan suami istri itu menjaga diri dan keluarga dari zina yang haram dan untuk memperbanyak keturunan umat islam yang baik.

Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu ‘anhu menceritakan sebagian Shahabat Nabi radhiallahu ‘anhum ada yang bertanya:

يا رسولَ اللهِ ! أيأتي أحدُنا شهوتَه ويكونُ له فيها أجرٌ ؟ أرأيتم لو وضعها في حرامٍ أكان عليه فيها وزرٌ بلى فكذلك إذا وضعها في الحلالِ كان له [فيها] أجرٌ

"Ya Rasulullah, apakah salah satu diantara kita menyalurkan syahwatnya itu akan mendapatkan pahala?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Bagaimana pendapat kalian, apakah sekiranya (hal tersebut) diletakkan pada yang haram (zina) apakah ia akan mendapatkan dosa?" Para Shahabat radhiallahu ‘anhum menjawab: "Tentu (berdosa)". Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: "Begitu juga kalau diletakkan yang halal, maka dia mendapatkan pahala". [HSR. Muslim no.1006 dan lainnya]

Adab Kedua, hendaklah mencari waktu yang tepat agar tidak diketahui oleh orang yang berada dalam rumah terutama anak-anak saat hendak melakukan hubungan badan.

Ada tiga waktu yang disukai oleh sebagian Ulama untuk melakukan hubungan badan, karena bisa lebih terjaga agar tidak terlihat tertuma anak-anak yang belum baligh. Ketiga waktu tersebut dalam Al Quran sampai disebut waktu aurat.

Perhatikan ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum shalat shubuh, saat kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan setelah shalat isya (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu". (QS. An-Nur: 58)

Berdasarkan ayat di atas, As Sudi rahimahullah mengatakan:

كَانَ أُنَاسٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يُحِبُّونَ أَنَّ يُوَاقِعُوا نِسَاءَهُمْ فِي هَذِهِ السَّاعَاتِ لِيَغْتَسِلُوا ثُمَّ يَخْرُجُوا إِلَى الصَّلَاةِ، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ أَنْ يَأْمُرُوا الْمَمْلُوكَيْنِ وَالْغِلْمَانَ أن لا يَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ فِي تِلْكَ السَّاعَاتِ إِلَّا بِإِذْنٍ

"Dahulu ada segolongan orang dari kalangan para Shahabat radhiallahu ‘anhum suka menyetubuhi istrinya di waktu-waktu tersebut, sekalian mereka mandi, lalu keluar untuk melakukan salat berjamaah". (Tafsir Ibni Katsir VI:76)

Terkhusus waktu setelah dzuhur, umumnya orang saat itu pulang kerja dan banyak yang melepaskan pakaian "dinas" mereka untuk beristirahat, sehingga dikhawatirkan kalau tak hati-hati akan terlihat auratnya.

Perlu diketahui bahwa itu terutama dua waktu di atas yang memang secara umum anak-anak masih tertidur, sehingga lebih aman untuk melakukan hubungan suami istri. Pada intinya pastikan cari waktu yang paling aman agar tak terlihat terutama yang belum baligh.

Adab Ketiga, hendaklah memulainya dengan cumbu rayu lebih dahulu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ

"Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu rayu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu". [HSR. Bukhari no.2967 dan Muslim no.715]

Adab Keempat, Berdo'alah sebelum berhubungan intim

Do’anya sebagai berikut:

بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Bismillah, allahumma jannibnaasy syaithon wa jannibis syaithon ma rozaqtana. (“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”). [HSR. Bukhari no.6388 dan Muslim no.1434]

Adab Kelima, tak mengapa suami istri berjima' dengan kedaan (maaf) telanjang bulat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela". (QS. Al-Mu’minun: 5-6)

Menjelaskan ayat di atas, maka berkata Ibnu Hazm rahimahullah: "Ayat ini bersifat umum, menjaga kemaluan hanya pada istri dan hamba sahaya berarti menunjukkan dibolehkannya melihat, menyentuh dan bercampur dengannya". (al Muhalla X:33)

Hadits yang sering dijadikan dalil tidak bolehnya suami istri bercampur dalam keadaan telanjang bulat adalah hadits bathil, tidak sah.

Adab Keenam, boleh mencampuri istri dari sisi manapun asal tetap ke tempat keluarnya anak (maaf, farji wanita).

Allah Ta’ala berfirman:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki". (QS. Al Baqarah: 223)

Mengenai Asbaabun Nuzul (sebab turunnya ayat) di atas kata Jabir radhiallahu ‘anhu:

كانتِ اليهودُ تقولُ : إذا جامَعَها من وَرائِها جاء الولدُ أحوَلَ، فنزَلَتْ

"Dahulu orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa jika seseorang menyetubuhi istrinya dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling. Maka turunlah firman (diatas)". [HSR. Bukhari no.4528 dan Muslim no.1435]

Dalam hadits lain disebutkan bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas lalu beliau bersabda:

مُقْبِلَةً وَمُدْبِرَةً مَا كَانَ فِي الفَرْجِ

"Silahkan kamu menjimai istrimu baik dari arah depan maupun belakang selagi tetap pada farjirnya". [HR. Thabrani dalam al Austah 3391, Thohawi dalam Syarah Musykilul Aatsaar 2830. Kata Ibnu Jarir rahimahullah dalam tafsirnya II:257, Shahih]

Adapun menjimai istri pada selain farjinya, seperti pada (maaf) duburnya, maka ini haram, bahkan termasuk perbuatan yang dilaknat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا

"Benar-benar terkutuk orang yang menyetubuhi istrinya pada duburnya". [HR. Ahmad no.10.206, Baihaqi dalam Marifah Sunan wal Aatsar 14.069 dan lainnya. Kata Al Albani rahimahullah dalam Shahih at Targhib 2432, Shahih karena adanya jalur pendukungnya]

Adab Ketujuh, jika hendak mengulangi lagi bercampur dengan istrinya, disunnahkan bagi lelaki menyelinginya dengan berwudhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ

"Jika salah seorang di antara kalian menyetubuhi istrinya, lalu ia ingin mengulanginya kembali, maka berwudhulah (terlebih dahulu)". [HSR. Muslim no.308]

Dalam hadits riwayat Ahmad:

وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ

"Yaitu (sebagaimana) wudhu untuk shalat". [HR.Ahmad no.10.795. Kata Syu’aib al Arna’uth rahimahullah dalam tahqiqinya atas Musnad Ahmad III:28, Shahih]

Apakah istri juga dianjurkan berwudhu sebelum dicampuri istrinya yang kedua kalinya?

Fatwa Lajnah ad Daia’imah menjelaskan:

الوضوء مشروع عند إرادة معاودة الجماع في حق الرجل؛ لأنه هو الذي أُمر بذلك دون المرأة

"Berwudhu disyari’atkan jika seseorang hendak mengulangi mencampuri istrinya, dan ini hanya (dianjurkan) bagi laki-laki, karena lelaki itulah yang memang diperintahkan melakukaan wudhu tanpa ditujukan kepada si wanita (istri)". (Fatawa Lajnah ad Daa’imah XIX:350, no.18.911)

Adab Kedapan, wajib mandi janabat.

Kewajiban mandi janabat ini berlaku untuk dua kondisi:

1) Bertemunya dua khitan (farji lelaki dan wanita) sekalipun tidak sampai keluar air mani.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا جاوزَ الختانُ الختانَ وجب الغسلُ

"Jika khitan melewati khitan (jima'), maka wajib mandi (junub)". [HSR. Muslim no.526 dan lainnya]

2) Keluarnya air mani sekalipun tidak berjima'.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّما الماءُ من الماءِ

"Sesungghnya air (mandi janabat) itu (diwajibkan) dari (sebab) keluarnya air (mani)“. [HSR. Muslim no.343] dan lainnya]

Adab kesembilan, boleh mandi janabat bersama istri dalam satu tempat mandi, sekalipun suami atau istri itu bisa saling melihat aurat.

Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan:

كنتُ أغتسِلُ أنا والنبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من إناءٍ واحدٍ

"Dahulu saya mandi (junub) bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam satu bejana". [HSR. Bukhari no.261 dan Muslim no.319]

Adab Kesepuluh, boleh mengakhirkan mandi junub sampai sesaat sebelum shalat, namun disunnahkan hendaklah wudhu setelah berjima jika tak langsung mandi mandi junub.

‘Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أيَنامُ أحدُنا وهو جُنُبٌ ؟

"Bolehkah kami langsung tidur (setelah berjima) dalam kondisi junub (belum mandi besar)?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

نعم إذا توضأ

"Ya, boleh, tetapi jika dia berwudhu (terlebih dahulu)". [HSR. Bukhari no.289 dan Muslim no.306]

Adab Kesebelas, boleh melakukan 'azl, menunda kelahiran dengan cara mengeluarkan air sprema di luar rahim istri.

Jabir bin 'Abdillah radhiallahu ‘anhuma menceritakan:

كنا نعزلُ على عهدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ . فبلغ ذلك نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ . فلم ينْهَنا

"Dahulu kami melakukan ‘azl pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan hal itu sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak melarang (melakukan 'azl)". [HSR. Bukhari no.5207 dan Muslim no.1440]

Adab Keduabelas, boleh mencampuri istri yang masih dalam menyusui.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ

"Sungguh, semula aku ingin melarang (kalian) dari perbuatan ghiilah. Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia dimana mereka melakukan ghiilah terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka". [HSR. Muslim no.1442]

Ghiilah adalah mencampuri istri yang sedang dalam masa menyusui. Sebagian ada yang mengartikan wanita menyusui yang sedang hamil. Manapun pengertiannya maka semuanya dibolehkan. Adapun tentu saja untuk pertimbangan kesehatan dan sebagainya silahkan dipertimbangkan sendiri.

Adab Ketigabelas, haram membicarakan ranjang kepada orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا

"Sesungguhnya termasuk manusia terjelek kedudukannya di sisi Allah manusia pada hari kiamat adalah lelaki yang menggauli istri kemudian ia sendiri menyebarkan rahasia ranjangnya". [HSR. Muslim no.1437]

Dikecualikan ini untuk perkara darurat, seperti konsultasi ke dokter karena ada masalah yang terkait dengan itu, atau kemashlatan lainnya yang dibenarkan oleh syari’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

_______
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

Group WhatsApp: wa.me/6289665842579

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

Posting Komentar untuk "Adab Saat Berhubungan Intim Suami Istri"