Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Dianjurkan Untuk Mandi Setelah Memandikan Jenazah?






Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Ya, benar, ada hadits yang terkait dengan hal ini. Berikut penjelasannya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm bersabda:

من غسَّلَ الميِّتَ فليغتسِلْ ومن حَملَه فليتوضَّأ

"Barangsiapa yang telah selesai ikut memandikan jenazah, hendaklah ia mandi dan barang siapa (sekedar) ikut mengusung jenazah, hendaklah ia berwudhu."

Hadits tersebut juga ada yang bersumber dari jalan Dzakwan As Saman Abu Shalih.

Takhrij Hadits Di Atas


Turmudzi no.993, Abu Dawud no.3162, Ibnu Majah no.1463 Ahmad II:272, at Thoyaalisi no.4231, dan lain-lain.

Derajat Hadits Di Atas 


Ulama dari zaman dahulu telah berselisih pendapat tentang keshahihan hadits tersebut, sehingga menimbulkan pula perbedaan dalam masalah hukum persoalan ini tentunya.

Berikut ringkasan keterangan tentang penilaian para kritikus hadits atas hadits di atas, baik yang melemahkan maupun yang menshahihkan.

Diantara Yang Melemahkan Atau Mengisyaratkan Hadits Tersebut Baik Karena Kemauqufannya Atau Memang Kelemahan Sanadnya


Baihaqi dalam as Sunanul Kubra [I:303], Ibnul Qoththon dalam al Wahmu wal Iihaam [III:383], ‘Ali bin al Madaini sebagaimana terdapat dalam as Suanaul Kubra [I:301], Imam Ahmad sebagaimana terdapat dalam as Sunanul Kubra [I:301], Ibnu ‘Abdil Barr dalam al Istidzkaar [II:538], Ibnul Jauzi dalam al Ilal al Mutanaahiyah [I:374], Imam Nawai dalam al Majmu’ [V:185], Ibnu Katsir dalam Irsyaadul Faqih [I:69], dan lain-lain. Syaikh bin Baaz -rahimahumullah ‘alaihim ajma’in- dalam Majmu’ Fatawa-nya [XXVI:208]

Daftar Ulama Yang Menghasankan Atau Menshahihkan Hadits Tersebut


Ibnu Taimiyyah dalam Syarhul ‘Umdah [I:362], Ibnul Hajar dalam Takhrij Misyaaktul Mashoobih [I:271], Ibnu Hazm dalam al Muhalla [II:23], Ar Ribaahi dalam Fathul Ghoffaar [I:150], As Syaukani dalam Nailul Author [I:297], As Shon’ani dalam Subulus Salam [I:107] dan dalam as Sailul Jarroor [I:121], Ibnu Hammaat ad Dimasyqi dalam at Tankiit wal Ifaadah [77], Al Baghowi dalam Syarhus Sunnah [I:434], namun beliau mengatakan yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu itu mauquf pada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Al Albani rahimahumullah ‘alaihim ajma’in dalam Shahihul Jaami’ [6402], Shahih Abi Dawud [3161], Irwaa’ul Gholil [144], Ahkaamul Janaa’iz [hal.71], Tamaamul Minnah [ hal.112], Takhrij Misykaatul Mashoobih [515]

Perlu kami sampaikan pula bahwa yang menshahihkan atau menghasankan hadits tersebut juga terbelah menjadi dua Ada yang mengatakan hadits itu shahih mauquf (hanya perkataan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Hal ini diantaranya dikatakan oleh Imam Baihaqi dalam as Sunanul Kubra [I:302] yang berkata: “Hadits ini shahih (namun) mauquf pada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana ini diisyaratkan oleh Imam Bukhari." Ada pula yang mengatakan marfu’ (yakni benar bersambung sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Syaikh Masyhur bin Hasan bin Salman hafizhahullah telah merinci hadits tersebut dengan seluruh jalurnya dengan penelitian yang sangat dalam dan rinci hingga mengabiskan hampir 20 puluh halaman! Periksalah kitab tersebut, sungguh sangat bermanfaat, insya Allah. Penelitan mendalam beliau atas hadits ini beliau muat saat mentahqiq Kitab al Khilaafiyyaat karya Imam Baihaqi rahimahullah [III:273-290], beliau berkecenderungan menshahihkan hadits ini, hingga pada [III:278] beliau membantah orang yang mendhoifkan hadits ini dengan mengatakan: “Tak ada alasan untuk mendhoifkan hadits ini dari sisi manapun, maka ini berarti melemahkan hadits yang sebenarnya shahih tanpa argumentasi.”

Penyusun risalah ini setelah menelaah khususnya tulisan Syaikh Mashur hafizhahullah dan Syaikh al Albani rahimahullah meyakini hadits ini layak dijadikan pegangan, insya Allah.

Terlepas apakah shahih mauquf atau marfu’, karena ini terkait hukum syari’at, kalau yang benar adalah mauquf (hanya perkataan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu), kecil kemungkinan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyatakan ini dari ro’yunya sendiri. Namun perintah mandi setelah bagi yang telah ikut memandikan jenazah dan berwudhu bagi yang ikut mengusung jenazah hukumnya hanya sunnah, tak sampai wajib.

Diantara dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah dua alasan:

Alasan Pertama, Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا نَغْسِلُ اْلمـَيِّتَ فَمِنَّا مَنْ يَغْتَسِلُ وَ مِنَّا مَنْ لاَ يَغْتَسِلَ

”Kami dahulu pernah memandikan mayat, lantas diantara kami (para shahabat radhiallahu ‘anhum) ada yang mandi dan ada pula yang tak mandi." [HR. Baihaqi no. 1521, Daroquthni no. 1796. Kata Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aaridhatul Ahwadzi [II:L378]: "Shahih“, kata al Hafizh dalam at Talkhish [I:208]: “Shahih“, kata al Albani -rahimahumullah ‘alaihim- dalam Ahkaamul Janaa’iz [hal.72] dan dalam Tamaamul Minnah [hal.121]: “Shahih“]

Alasan Kedua, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ فىِ غَسْلِ مَيِّتِكُمْ غُسْلٌ إِذَا غَسَلْتُمُوْهُ فَإِنَّ مَيِّتَكُمْ لَيْسَ بِنَجَسٍ فَحَسْبُكُمْ أَنْ تَغْسِلُوْا أَيْدِيَكُمْ

"Tak ada kewajiban bagi kalian untuk mandi bagi yang telah ikut memandikan jenazah karena sesungguhnya mayat kalian itu bukanlah najis. Maka cukup bagi kalian untuk mencuci tangan-tangan kalian." [HR. Baihaqi dalam al Kubra no. 1392, Hakim nom 1466, Daroquthni no. 1815. Kata al Hafizh dalam at Talkhish [I:207]: “Hasan“, kata Ibnul Mulaqqin dalam al Badrul Munir [IV:658]: “Shahih atas syarat Bukhari“, kata Al Albani -rahiahumullah ‘alaihim- dalam Shahihul Jaami [5408]: “Shahih“]

Catatan
Hadits tersebut yang benar adalah mauquf pada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dan tidak marfu’.

Atas dasar ini maka banyak Ulama menyatakan bahwa mandi bagi yang telah ikut memandikan jenazah dan berwudhu bagi yang menggotong jenazah adalah sunnah.

Imam Malik rahimahullah berkata:

أستحب الغسل من غسل الميت ولا أرى ذلك واجبا

“Aku menyukai mandi bagi orang yang telah ikut memandikan jenazah, namun aku berpendapat hal ini tak sampai wajib." (Sunan at Tirmidzi II:493)

Pendapat yang menyunnahkan hal ini adalah juga pendapat dari Ibnu’ Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Hasan al Bashri, Ibrahim an Nakho’i, as Syafi’i, Ahmad dan lain-lain radhiallahu ‘anhum wa rahimahumullah ‘alaihim ajma’in. (Sunan at Tirmidzi III:318)

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

من غسل ميتا أرجو أن لا يجب عليه الغسل وأما الوضوء فأقل ما قيل فيه

“Barangsiapa yang memandikan mayat, aku berpendapat tak wajib baginya untuk mandi, namun sekurang-kurangnya dianjurkan untuk berwudhu." (Sunan Turmudzi II:493)

Syaikh al Albani pun menguatkan pendapat ini dalam Ahkaamul Janaa’iz [hal.72]

Kesimpulan, disunnahkan -dan tak sampai wajib- bagi orang yang telah ikut memandikan jenazah untuk mandi dan bagi yang mengusung jenazah untuk berwudhu. Wallahu a’lam.

Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin.

🔰 @Manhaj_salaf1

•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•

Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

📮 Telegram     : http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp  : 089665842579
🌐 Web              : dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram    : bit.ly/ittibarasul1
🇫 Fanspage      : fb.me/ittibarasul1

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

1 komentar untuk "Benarkah Dianjurkan Untuk Mandi Setelah Memandikan Jenazah? "

Berkomentarlah dengan bijak