Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tujuh Belasan






Oleh Ustadz Abu Abd rahman bin Muhammad Suud Al-Atsary hafidzhahullah

Mencintai tanah air adalah tabiat manusiawi, seorang pasti secara naluri mencintai tanah airnya, senantiasa ingat padanya dan kangen bila berjauhan dari tempat kelahirannya.

Bilal radhiallahu 'anhu merasa kangen Makkah saat di Madinah, dalam demamnya ia melantunkan syair:

ألا ليت شعري هل ابيتن ليلة بواد حولي إذخر و جليل و هل أردن يوما مياه مجنة و هل يبدون لي شامة و طفيل

"Oh angan, masihkah mungkin ku lalui malam disatu lembah diantara idkhir (rerumputan) dan jalil, masihkah mungkin bagiku disuatu hari menemui gemericik (air sumur) majinnah, dan apakah masih ku lihat Syamah dan Tufail (anak-anak Makkah) menampakkan diri". (Ar Rasul wa Risalah 172)

Seorang muslim yang baik dan berilmu tentu mengharap kebaikan bagi negeri dan saudara-saudaranya kaum muslimin.

Yang dilarang adalah dua kutub sikap ekstrim, antara menelantarkan negeri, membiarkan negeri dikuasai orang kafir, dan kekayaannya dikuasai penjajah asing, serta sikap berlebihan dalam memandang negaranya, bahwa negaranya adalah segalanya (hidup mati) dan unggul di atas negara lain serta tertanamnya sikap nasionalisme sempit (qoumiyah dhayyiqoh), karena kaum muslimin menjalin ukhuwah di atas iman islamnya, bukan nasionalisme dari kaca mata penjajah. Dan sejarah membuktikan bahwa kaum muslimin yang berperan aktif dalam setiap perlawanan kepada penjajahan disetiap negeri kaum muslimin.

Mengenai hukum seputar peringatan kemerdekaan (yaum wathani), para Ulama berselisih, apakah hal itu bagian dari ritual keagamaan (Ied) atau kebiasaan yang berkaitan dengan urusan keduniaan. Karena sebagai kaum muslimin, tentu kita tidak memiliki perayaan tahunan kecuali Iedul Fitri dan Iedul Adha.

Sebagian Ulama yang membolehkan, memasukkannya kedalam urusan keduniaan.

Kami mencoba menimbang apakah peringatan kemerdekaan termasuk ritual ied atau kebiasaan keduniaan:

1) Diadakan setiap tahun (moment tahunan).

2) Disetiap malam hari kemerdekaan dipastikan ada ritual malam renungan, baik di taman makam pahlawan, atau di gang-gang desa sampai menutup jalan yang dinamakan malam tirakatan dan kumpul warga dengan ritual tumpeng dan doa bersama.

3) Dilakukan secara kolosal (satu negara).

Maka dari sisi ini, dapat diketahui bahwa peringatan hari kemerdekaan adalah Ied. Yang menggabungkan antara ritual kebiasaan dan adat serta ritual keagamaan sekaligus. Yang juga terkait masalah hari kemerdekaan, adalah memasang bendera.

Memasang bendera termasuk urusan keduniaan, dan bendera adalah simbol dari setiap negara, dan tentunya hal ini boleh, diantara Ulama yang berfatwa bolehnya mengibarkan bendera adalah Syaikh Ubaid Al Jabiri dalam fatwanya.

Perkara selanjutnya adalah terkait dengan hormat bendera, apakah ia juga perkara tabiat keduniaan atau masuk pada rana hukum syariat, para Ulama memasukkan hukum hormat bendera termasuk haram.

Lajnah Daimah mengeluarkan putusan bahwa hormat bendera termasuk kemungkaran, masuk wilayah kesyirikan dan tasyabuh terhadap orang kafir.

لا يجوز للمسلم القيام اعظاما لأي علم وطني او سلام و طني

"Tidak dibolehkan bagi muslim berdiri untuk penghormatan pada bendera atau lagu kebangsaan". (Fatwa Lajnah Daimah 1:235)

لا تجوز تحية العلم

"Tidak boleh memberi hormat pada bendera". (Fatwa Lajnah Daimah 1:236)

Yang ingin juga saya jelaskan dalam tulisan singkat ini adalah beberapa pertanyaan:
- Bolehkah ikut malam tirakatan hari kemerdekaan?
- Bolehkah ikut menyumbang dana acara hari kemerdekaan?
- Bolehkah ikut lomba hari kemerdekaan?

Terkait malam tirakatan, hal ini tentu adalah ritual budaya yang dibungkus dengan ritual syariat, biasanya berisi acara tahlil dan dzikir bersama, dan juga tumpengan dan malam renungan. Tidak jarang menutup jalan kaum muslimin (hukum terkait menutup jalan sudah dibahas pada tulisan lain). Bila ditanya maka hal ini terkait kaidah umum, dari hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

كل بدعة ضلالة

"Setiap bid'ah adalah sesat". [HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai dan lainnya, Tirmidzi no.1105]

Terkait iuran yang ditarik dari warga untuk ritual dan perayaan kemerdekaan. Maka, dilihat dari beberapa sisi:

1) Biasanya diadakan pungutan sepihak dari RT atau RW.
2) Tidak ada sebenarnya Perda tentang itu (keharusan), namun bila ada warga yang menolak biasanya dipersalahkan.
3) Tidak jarang hal itu untuk kemaksiatan, umpama karnaval yang kadang tabarruj, menampilkan banci, dan bersolek, atau acara wayang, campur sari, minimal musikan dan nyayian, dan untuk tumpengan (makan bersama) di malam tirakatan.
4) Kadang memaksa, padahal kita tidak boleh mengambil harta manusia dengan cara bathil dan dzalim.

Diterangkan dalam ayat:

و لا تأكلوا اموالكم بينكم بالباطل

"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara bathil". (QS. Al Baqarah: 188)

5) Tidak boleh berkontribusi dalam kemungkaran.

Maka, sepatutnya seorang muslim menolak bila iuran yang diminta untuk maksud-maksud yang tidak syari di atas.

Lalu bagaimana bila dipaksa? Keharaman mengambil harta manusia secara dzalim itu terkait pihak yang memaksa.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Minhajul Qasidin memberi keringanan untuk orang yang dipaksa menyerahkan hartanya (dalam jumlah tertentu) yang bila tidak ia akan mendapatkan kesulitan (dicaci atau mendapat prasangka buruk), maka ia boleh menyerahkan hartanya.

Terkait lomba-lomba yang diadakan, bila lomba itu tidak dipungut biaya dan hadiah dari sponsor, maka hal ini boleh. Bila hadiah diambil dari peserta lomba, maka hal ini haram. (Lihat perinciannya dalam Harta Haram Muamalah Kontemporer bab hadiah dari hal.272- 290)

Terkait ini pula jalan sehat yang hadiahnya dipungut dari penjualan kupon berhadiah.

Semoga dapat difahami tulisan singkat ini.

_____
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

Group WhatsApp: wa.me/62895383230460

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

Posting Komentar untuk "Tujuh Belasan"