Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bab Sutrah Untuk Orang Yang Shalat (Bagian 2)






Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Benda Yang Dapat Di Jadikan Sutrah


Dalam silsilah shalat sebelumnya, telah kami jelaskan wajibnya bagi orang yang hendak shalat sendirian atau selaku imam untuk memasang atau menghadap ke arah sutrah sebelum shalatnya.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang dapat dijadikan sutrah shalat itu boleh yang hanya memiliki sisi lebar namun tak memiliki sisi tinggi, semacam sajadah ataukah benda yang dapat dijadikan sutrah itu harus memiliki sisi tinggi, bukan sekedar sisi lebar ?

Jawabannya, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menceritakan, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu’khiratul rahl di hadapannya, maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut". [HSR. Muslim no.511, Abu Dawud no.702, Ibnu Majah no.952, Darami no.1414].

Hadits shahih di atas menunjukkan bahwa benda sutrah itu adalah semisal mu'khiratul rahl.

Apakah yang dimaksud mu'khiratul rahl itu?

Mu'khiratur rahl menurut Imam Nawawi rahimahullah adalah sandaran pelana yang biasanya ada di belakang penunggang hewan. Mu'khiratur rahl ini adalah batas minimal tinggi benda yang dapat dijadikan sutrah shalat.

Berkata Al Hafizh rahimahullah:

اعْتَبَرَ الْفُقَهَاءُ مُؤَخِّرَةَ الرَّحْلِ فِي مِقْدَارِ أَقَلِّ السُّتْرَةِ

"Para pakar fiqh menjadikan mu'khiratir rahl itu sebagai batasan ukuran (ketinggian) paling minimal dari sutrah". (Fathul Bari I:581).

Para Ulama berbeda pendapat tentang ukuran panjang mu'khiratur rahl tersebut. Hanya saja yang lebih masyhur menurut Al Hafizh ukuran panjangnya adalah 1/3 dzira’ (hasta). (Fathul Bari I:581).

Satu dzira' (satu hasta) adalah satuan panjang dari siku sampai ujung jari tangan. Maka sepertiga dzira' dapat diperkirakan sendiri kurang-lebihnya. Sementara Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ukuran tinggi sutrah itu sekitar setengah meter.

Berikut perkatan beliau:

الأفضل أن تكون السترة كمؤخرة الرحل ، يعني أن تكون شيئاً قائماً بنحو ثلثي ذراع ؛ أي نصف متر

"Yang lebih utama sutrah itu seukuran mu'khiratur rahl, yakni hendaklah benda tegak yang memiliki ketinggian sekitar 1/3 dzira' atau setengah meter". (Fatwa Nur 'alaa Darb II:156).

Benda Apa Saja yang Dapat Dijadikan Sebagai Sutrah? Apakah Tas Bisa Kita Jadikan Sutrah?


Jawabannya, apapun benda yang memiliki ukuran tinggi satu dzira', maka dapat dijadikan sebagai sutrah shalat.

Benda-Benda Yang Pernah Dijadikan Sutrah Shalat Oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


1) Tiang. [HSR. Bukhari no.480, Muslim no.509, Ibnu Majah no.1430 dan lain-lain. Bersumber dari Salamah bin Al Akwa’ radhiallahu ‘anhu].

2) Pohon. [HR. Ahmad no.1165, Nasa'i dalam Al Kubra 825, At Thayaalisi dalam Musnad-nya 118, dan lain-lain, bersumber dari 'Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu].

Mengenai sanadnya, kata Ahmad Syakir dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad II:271: "Shahih", kata Syaikh Muqbil dalam As Shahihul Musnad 988: "Shahih", kata Al Albani -rahimahumullah- dalam Ashlu Shifat Shalat Nabi I:120: "Shahih".

3) Tongkat yang ditancapkan. [Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain, bersumber dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma].

4) Dinding/tembok. [HSR. Bukhari no.474, Muslim no.508, Abu Dawud no.696, Ibnu Khuzaimah no.804, dan lain-lain, bersumber dari Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu].

5) Hewan tunggangan. [HSR. Bukhari no.485, Muslim no.502, Turmudzi no.352, Abu Dawud no.695 dan lain-lain, bersumber dari Ibnu 'Umar].

Intinya, benda apapun yang memiliki ukuran tinggi minimal sekitar 1/3 hasta atau sekitar setengah meter, maka dapat dijadikan sutrah shalat.

Maka tas, kursi, punggung orang yang ada di hadapan kita atau apa saja yang memiliki ketinggian minimal seperti itu dapat dijadikan sutrah.

Dalam Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah disebutkan:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَصِحُّ أَنْ يَسْتَتِرَ الْمُصَلِّي بِكُل مَا انْتَصَبَ مِنَ الأشْيَاءِ كَالْجِدَارِ وَالشَّجَرِ وَالأسْطُوَانَةِ وَالْعَمُودِ ، أَوْ بِمَا غُرِزَ كَالْعَصَا وَالرُّمْحِ وَالسَّهْمِ وَمَا شَاكَلَهَا

"Para pakar fiqh telah sepakat bahwa sah untuk bersutrah pada benda apapun yang memiliki sifat tegak seperti tembok, pohon atau benda yang dapat ditancapkan seperti tongkat, tombak, panah, dan sejenisnya." (Al Mausu'ah Fiqhiyyah XXIV:178).

Bolehkan Menjadikan Sesuatu Yang Tidak Memiliki Ketinggian Untuk Dijadikan Sutrah, Seperti Sekedar Garis, Sajadah, Atau Serupa Itu?


Telah dikemukakan di atas, bahwa yang dijadikan sutrah itu hendaknya berupa benda yang memiliki sifat tinggi minimal satu dzira'.

Adapun sutrah yang hanya memiliki sifat datar tanpa ketinggian, seperti membuat garis lurus di tanah lapang atau sajadah, maka ini tidak mencukupi persyaratan minimal untuk dijadikan sutrah shalat.

Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah telah menjadikan hadits perintah membuat/menjadikan sutrah shalat minimal setinggi mu'khiratur rahl sebagai dalil tidak cukupnya sutrah jika hanya berbentuk garis (tak memiliki ketinggian).

Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi rahimahullah berikut:

وَاسْتَدَلَّ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّ الْخَطّ بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي لَا يَكْفِي

“Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis tidaklah mencukupi bagi orang yang shalat". (Syarah Shahih Muslim IV:216).

Memang ada hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah meletakkan sesuatu di depannya, jika tidak mendapatkan sesuatu hendaklah menancapkan tongkat dan jika tidak mendapatkan hendaklah membuat garis. Setelah itu tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya”.

Hadits tersebut menunjukkan bolehnya sutrah sekalipun dalam bentuk garis.

Memang sejumlah Ulama ada yang menshahikan hadits tersebut Seperti Ali Al Madini dalam Kitab Khulashah Badrul Munir Fi Takhrij Ahaadits As Syarhul Kabir I:157, Imam Ahmad -sebagaimana terkutip dalam Syarhu Zarkasyi 'Alaa Mukhtashar Al Hiraqi II:125, Syaikh bin Baz Fatwa Nur 'Ala Darb Li Syaikh Ibni Baz IX:317, dan lain-lain rahimahumullah ‘alaihim-.

Namun yang lebih tepat hadits tersebut ternyata lemah. Dikarenakan dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu ‘Amr bin Muhammad dan kakeknya yang bernama Huraits bin Sulaim, keduanya Majhul (tidak diketahui identitasnya). Karena itulah hadits itu dilemahkan oleh sejumlah Ulama.

Nama Ulama Yang Mendha'ifkan Hadits Tersebut


Sufyaan Ats Tsauri -sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam Khulashah Al Badrul Muniir I:157, Imam Nawawi sendiri dalam kitabnya Al Khulashah I:520 menyebutnya: "Dha'if", Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih Bukhari karyanya II:132 mengatakan: "(Didalamnya) terdapat (rawi yang bernama) Abu 'Amru dan pamannya, kata At Thahawi: "Keduanya majhul (tidak dikenal identitasnya). Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah II:169 mengatakan: "Dalam sanadnya ada kelemahan", Muhammad Ibni ‘Abdil Hadi dalam kitab Al Muharrar hal. 126 mengatakan: "Goncang sanadnya", Ahmad Syakir dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad XIII:124 mengatakan: "Dha'if", ‘Abdul Haq Al Isybili dalam kitabnya Al Ahkaam Asy Syar'iyah Al Kubra II:157 mengatakan: "(Didalam sanadnya) terdapat Abu 'Amru bin Muhammad, majhul (tak diketahui identitasnya)", Syaikh Al Albani -rahimahumullah ‘alaihim ajma’in- menyebutkan kedha'ifan hadits tersebut dibeberapa tempat, diantaranya dalam Dha'if Abi Dawud no. 689, Dha'if Ibni Majah no. 178, Dha'if Al Jaami' no. 569, dan dibeberapa tempat lainnya.

Karenanya hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil. Hanya saja jika memang sama sekali tidak ditemukan benda yang berukuran tinggi yang dapat dijadikan sutrah, semisal seseorang yang shalat di tengah padang pasir dan dia tak menemukan benda apapun yang memiliki sifat tinggi minimal 1/3 hasta maka insya Allah tak mengapa dia hanya menggunakan garis di pasir sebagai garis sutrahnya, bukan karena hadits dha'if tersebut, namun karena unsur darurat.

Adapun jika seseorang yang hendak shalat di masjid sendirian, misalkan hendak shalat sunnah, maka usahakan dia mendekat ke arah tembok atau tiang masjid, dan jadikan itu sebagai sutrah. Boleh juga kalau tempatnya sudah penuh maka dia meniatkan posisi punggung orang yang duduk di hadapannya sebagai sutrah. Karena tak cukup sutrahnya hanya sebuah sajadah yang tak memiliki sifat tinggi.

Kesimpulan, sajadah dan sejenisnya tak cukup dijadikan sebagai sutrah. Sutrah itu harus memiliki sisi tinggi sekurang-kurang 1/3 hasta atau sekitar ketinggian setengah meter.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•

Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

📮 Telegram: http://t.me/Manhaj_salaf1
🎥 Youtube: http://youtube.com/ittibarasul1
📱 Group WhatsApp: wa.me/62895383230460
📧 Twitter: http://twitter.com/ittibarasul1
🌐 Web: dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram: http://Instagram.com/ittibarasul1
🇫 Facebook: http://fb.me/ittibarasul1

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

Posting Komentar untuk "Bab Sutrah Untuk Orang Yang Shalat (Bagian 2)"