Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adakah Bid'ah Hasanah Dalam Ibadah Mahdhah?






Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Salah satu atsar terbaik yang menunjukkan tidak ada bid'ah hasanah dalam ibadah mahdhah.

Telah diketahui membaca shalawat salam atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dasarnya adalah suatu ibadah yang amat agung, yang tak seorang muslim pun di dunia ini yang mengingkari keutamaan membaca shalawat salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan Allah Ta’ala sendiri setelah menyatakan bahwa diri-Nya dan para malaikat-Nya memberikan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas Dia Ta’ala memerintahkan kita untuk memperbanyak membaca shalawat salam kepada beliau, sebagaimana terdapat pada ayat berikut:

 إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(QS. Al-Ahzab: 56)

Dengan demikian pada dasarnya kapanpun dan dimanapun kita memiliki waktu, tentu kita dianjurkan memperbanyak membaca shalawat salam ini.

Walau begitu untuk ibadah mahdhah, maka tak boleh kita menetapkan menyunnahkan membaca shalawat dan salam ini di tempat-tempat yang beliau tidak mencontohkannya. Tak boleh kita menyatakannya sebagai bid'ah hasanah.

Untuk membuktikan hal ini, sebelumnya maka mari kita memperhatikan suatu masalah yang terkait dengan apa yang dibaca oleh orang yang bersin.

Kita tahu, orang yang bersin itu disunnahkan untuk membaca hamdalah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ لِلَّهِ

“Bila salah seorang diantara kamu bersin, maka hendaklah (setelah bersin) dia mengucapkan Alhamdulillah.“ [HSR. Bukhari no.6224 dan Muslim no.5033]

Bisa juga bacaan redaksi hamdalah setelah bersin ini dengan redaksi Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin, sebagaimana terdapat dalam hadits berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا نَفَخَ فِي آدَمَ، فَبَلَغَ الرُّوحُ رَأْسَهُ عَطَسَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  …

“Saat Allah meniup ruh pada diri Nabi Adam 'alaihis shalatu wa sallam, maka sampailah ruh di kepalanya, lantas Adam ‘alaihi shalatu wa sallam pun bersin, dan beliau mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin." [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no.6165, Hakim no.7682. Kata as Suyuthi rahimahullah dalam Jaami’us Shaghir no. 7354: Shahih. Kata al Albani rahimahullah dalam as Shahihah no.2159: Shahih atas syarat muslim. Kata Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahih Dalaa’I an Nubuwah no.382: Shahih atas syarat muslim]

Boleh pula dia membaca hamdalah dengan redaksi Alhamdulilahi ‘alaa kulli haal, sebagaimana terdapat pada hadits berikut:

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ  …

“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal (segala puji bagi Allah dalam segala kondisi)." [HR. Tirmidzi no.2741, Abu Dawud no.5033, Ibnu Hibban no.599, dan lain-lain dengan sedikit perbedaan redaksi. Kata Imam Nawawi rahimahullah dalam al Adzkar hal.339: Shahih. Kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Shiigul Hamd I:41: Shahih. Kata as Shan’aani rahimahullah dalam Subulus Salaam IV:231: Shahih. Kata as Syaukani rahimahullah dalam Nailul Author IV:45: Shahih. Kata al Albani rahimahullah dalam Takhrij Misykaatul Mashabih 4667: Jayyid/bagus]

Atas dasar ini maka Imam Nawawi As Syafi’i rahimahullah berkata:

 اتفق العلماء على أنه يستحب للعاطس أن يقول عقب عطاسه الحمد لله ولوقال الحمدلله رب العالمين لكان أحسن ,فلو قال الحمد لله على كل حال كان أفضل

“Para Ulama telah bersepakat atas disukainya bagi orang yang bersin agar setelah bersin mengucapkan Alhamdulillah, dan sekiranya orang yang bersin tadi mengucapkan (dengan redaksi) Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, maka itupun bagus, dan sekiranya membaca (hamdalah setelah bersin dengan redaksi) Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal, maka ini lebih utama". (Al Adzkar, karya Imam Nawawi rahimahullah hal. 240)

Pada seluruh hadits shahih tentang bacaan setelah bersin itu hanya bacaan hamdalah, dan tak ada anjuran membaca shalawat salam atas Nabi.

Yang jadi pertanyaan, apakah bila kita bersin, lalu kita membaca hamdalah, lantas apakah disunnahkan pula membaca shalawat dan salam atas Nabi ?

Jawabannya perhatikan atsar berikut:

عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ، وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَّمَنَا أَنْ نَقُولَ: « الحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ»

"Dari Nafi’ rahimahullah, ada seseorang yang bersin di samping Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, lalu orang tersebut mengucapkan Alhamdulillahi wa salamu ‘alaa Rasulillah. Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma segera menimpali: “Dan saya (juga biasa) mengatakan Alhamdulillah was salamu ‘alaa Rasulillah. Akan tetapi bukan begini yang diajarkan kepada kami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengajari kami hanya mengucapkan alhamdulillahi ‘alaa kulli haal.” [HR. Tirmidzi no.2783 dan Thabrani dalam al Austah no.5698 dengan sedikit perbedaan redaksi. Kata Ibnu Muflih rahimahullah dalam al Aadab as Syar’iyyah II:324: Jayyid/bagus. Kata al Albani rahimahullah dalam Irwaa’ul Ghalil III:245: Shahih]

Yang menjadi renungan penting bagi kita dengan melihat atsar di atas adalah:

1) Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma telah mengingkari orang yang membaca shalawat salam atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah bersin, dan beliau menyatakan cukup membaca hamdalah saja, maka apakah ini berarti Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma itu anti shalawat.

Adakah yang berani menuduh demikian ?

Biasanya para pelaku maupun ahlul bid’ah, kalau kita misalkan mengingkari penetuan jumlah bilangan tertentu, atau waktu-waktu tertentu yang tidak pernah dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dicontohkan oleh para Salafush Shalih saat membaca shalawat atau dalam membaca ayat-ayat tertentu, atau kalimat thaybah tertentu maka segera mereka menuduh kita golongan anti shalawat, anti tahlilan, dan lain sebagainya.

Misal kita mengingkari disukainya pengkhususan membaca shalawat seribu kali tiap malam jum'at kliwon. Itu bukan berarti kita mengingkari hukum asal keutamaan membaca shalawatnya, tetapi yang kita ingkari adalah sisi penentuan jumlah atau hari tertentu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dicontohkan oleh para Shahabatnya radhiallahu 'anhum ajma’in.

Tetapi mereka terkadang dengan membabi buta pura-pura tak tahu dengan teganya menebarkan fitnah dan syubhat bahwa kita adalah golongan anti shalawat. Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uun....

Demikian pula saat kita mengingkari misalkan penentuan hari-hari tertentu atau jumlah bilangan tertentu yang tidak pernah dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Shahabatnya radhiallahu 'anhum, maka itu bukan berarti kita mengingkari hukum asal keutamaan membaca kalimat thayyibah atau apalagi Al-Quran.

Tidak diragukan lagi jika seorang islam membenci membaca shalawat syar'iyyah, atau kalimat thayyibah, atau apalagi membenci membaca Al-Quran, maka dia murtad tanpa ada keraguan lagi.

Nah lihat atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma di atas. Apakah kita akan mengatakan Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma adalah kelompok anti shalawat ? Tentu tidak.

Mengapa ? Sebab yang diingkari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma itu pada dasarnya bukan hukum asal membaca shalawatnya, tetapi menambahkan bacaan shalawat setelah bersin itu tidak dicontohkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para Shahabatnya radhiallahu 'anhum.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam hanya mengajar membaca hamdalah setelah bersin, dan beliau tidak memerintahkan membaca shalawat setelahnya.

Ini adalah ibadah mahdhah yang tak boleh bagi siapapun untuk menambah-nambahinya walau menurut perasaan kita bacaannya bagus.

2) Andai bid'ah hasanah dalam ibadah mahdhah itu memang ada dan dibenarkan, maka semestinya Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma tidak perlu mengingkari bacaan shalawat yang dibaca setelah bersin, dan sepantasnya jika beliau memasukkan ini dalam bid'ah hasanah.

Alasannya sebagaimana yang biasa dipakai para pendukung bid’ah hasanah, apa salahnya membaca shalawat itu ?, bukankah membaca shalawat itu perkara baik ?, apa jeleknya membaca shalawat ?, adakah larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca shalawat setelah bersin ?

Nah, beranikah pertanyaan seperti di atas juga dikatakan kepada Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang mengingkari pembaca shalawat setelah bersin, dan beliau tidak menganggapnya sebagai bid'ah hasanah ? atau adakah kita mengira Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma tidak paham kaidah fiqih dan ushulnya dibandingkan dengan orang-orang zaman ini ?

Allahul musta’an....

Renungkanlah dalam-dalam, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua.  Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Allahul musta’an...

Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin.

🔰 @Manhaj_salaf1

•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•

Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

📮 Telegram     : http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp  : 089665842579
🌐 Web              : dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram    : bit.ly/Akhwat_Sallafiyah
🇫 Fanspage      : fb.me/DakwahManhajSalaf1

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

Posting Komentar untuk "Adakah Bid'ah Hasanah Dalam Ibadah Mahdhah?"