Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Bersalam-salaman Setelah Shalat

 



Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Pembahasan ini sekaligus diskusi ringan dengan apa yang dinyatakan oleh Ustadz Adi Hidayat (UAH) terkait masalah ini, dilengkapi juga fatwa Ulama empat Madzhab dan Ulama lainnya atas masalah ini.

Hukum asal berjabat tangan adalah sunnah tanpa diragukan lagi. Hukum sunnah ini dilakukan saat kita baru bertemu/berjumpa dengan seseorang, atau saat kita hendak berpisah dengannya.

Dalilnya diantaranya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ما من مُسلمَينِ يلتقيانِ فيتصافحانِ إلا غفر اللهُ لهما قبل أن يتفرَّقا

"Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah". [HR. Abu Daud 5212, Tirmidzi 2727. Kata Al-Albani dalam As-Shahihah 525, dengan mempertimbengan berbagai jalur pendukung dan kesaksianan periwayatannya, maka hadits ini berderajat shahih atau minimal hasan] 

Hadits ini menunjukkan disukainya kita berjabat tangan saat awal kita berjumpa dengan seorang muslim. Yang jadi masalah, apakah dengan hadits ini juga bisa dijadikan dalil sebagai sunnahnya berjabat tangan setiap kali kita selesai melaksanakan shalat lima waktu atau shalat tertentu lainnya, padahal misal kita awalnya saat masuk ke masjid telah menjabat tangannya ?

Ustadz Adi Hidayat (UAH) dengan berdalil keumuman dan kemuthlakkan hadits di atas menjadikan bolehnya bersalam-salaman setelah shalat secara langsung dengan alasan hadits itu berbicara keumuman berjabat tangan di manapun dan kapanpun, lihat videonya pada alamat link berikut https://www.facebook.com/army.rasulullah/videos/399264840587975/?v=399264840587975 khusunya pada menit ke 01.52 dan pada mulai menit ke 03.30 sampai 03.50

Walau pada ujungnya beliau menyatakan utamanya berdzikir dulu setelah shalat fardhu. Baru setelah itu kalau mau berjabat tangan boleh. Yang menjadi sorotan utama ana adalah sisi keumuman dan kemuthlakkan hadits keutamaan berjabat tangan di atas.

Untuk menanggapi ini, maka ana (Berik Said) katakan: Andai kita masuk ke masjid, lalu kita menjabat tangan orang yang di situ baru saja kita temui, maka itu adalah adalah sunnah, atau kita menjabatnya lagi saat misal kita akan pulang duluan, maka itu pun sunnah.

Tapi andai kita saat masuk ke suatu masjid, lalu duduk di sampingnya, lalu kita berjabat tangan dengannya. Lantas setelah selesai salam dari shalat langsung kita menyengaja berjabatan tangan lagi dengannya dan menjadikan ini sebagai sebuah kebiasaan, apalagi dengan anggapan berjabat tangan setiap kali selesai shalat semacam tadi adalah suatu sunnah, maka ini adalah bid'ah. Dan tidak boleh kita menganggap boleh atau meyunnahkannya dengan beralasan dengan keumuman atau kemuthalakkan hadits keutamaan berjabat tangan di atas.

Fatwa Ulama Empat Madzhab Dan Ulama Lainnya Terkait Bersalaman Setelah Shalat

Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullah berkata:

لَكِنْ قَدْ يُقَالُ إنَّ الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ يُؤَدِّي الْجَهَلَةِ إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ… أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ

"Tetapi telah dikatakan, bahwa membiasakan hal tersebut (berjabat tangan) setelah shalat secara khusus telah menjadikan orang-orang yang meyakininya sebagian bagian dari perbuatan yang disunnahkan secara bodoh khusus pada waktu-waktu tersebut. Dan sesungguhnya.. perbuatan ini tidak pernah dilakukan seorangpun dari kalangan Salaf yang mengkhusukan bersalam-salaman di waktu-waktu tersebut". (Raddul Muhtar XXVI:437)

Ibnul Hajj Al-Maliki rahimahullah saat beliau menyoroti fenomena membiasakan berjabat tangan setiap kali selesai shalat seperti yang terjadi di berbagai masjid, maka beliau mengatakan:

هذه المصافحة من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث وضعها الشرع توضع ، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة

"Bersalaman ini (setelah shalat) termasuk bid'ah yang semestinya dilarang di masjid-masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat adalah hanyalah saat bertemunya seorang muslim dengan saudaranya, bukan pada saat selesai dari shalat lima waktu. Dengan demikian, saat syariat telah meletakkan, maka hendaknya diletakkan semestinya. Dan yang demikian itu harus dicegah dan bahkan pelakunya semestinya di tegur secara keras, karena ia telah mendatangkan sesuatu yang menyelisihi sunnah". (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah XXXVII:363)

Para Ulama di atas tidak ada yang menjadikan keumuman atau kemuthlakkan hadits tentang keutamaan berjabat tangan tersebut sebagai dalil keutamaan berjabat tangan pada waktu-waktu khusus seperti setiap kali selesai shalat fardhu, sebagaimana yang difahami oleh Ustadz Adi Hidayat. Mereka bahkan tetap memandang hal itu bid'ah atau dibenci.

Andai saja metodologi berhukum seperti yang dipakai UAH tersebut benar, insya Allah para imam ini jelas akan lebih memahaminya dan akan menerapkannya. Wallaahu A'lam.

Imam Nawawi rahimahullah saat beliau mencermati kebiasan orang pada zaman beliau yang sengaja berjabat tangan setiap kali selesai dari shalat Shubuh dan Ashar, maka beliau berkata:

وَأَمَّا مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ مِنَ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ

"Adapun apa yang telah menjadi taradisi masyarakat berupa jabat tangan setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar, maka hal ini tidak ada dasarnya dalam syariat Islam dari sisi ini, tetapi tidak apa-apa dilaksanakan". (Al-Adzkar An-Nawawiyyah I:377)

Yang mau ana fokuskan di sini adalah pengakuan Imam Nawawi rahimahullah sendiri bahwa membiasakan bersalam-salaman setelah shalat fardhu, semisal dengan mengkhususkan bersalam-salaman setiap kali selesai dari shalat Shubuh dan Ashar, maka ini diakui beliau sendiri sebagai tidak memiliki sumber syariat.

Adapun perkataan beliau setelah itu yang mengatakan, "Tetapi tidak apa-apa untuk dilaksanakan", maka sejujurnya perkataan beliau dalam hal ini termasuk cukup mengherankan dan kontradiktif. Karena bagaimana mungkin perkara yang telah diakui sendiri tidak memiliki sumber syariat tetapi tidak apa-apa untuk dilakukan ? Sungguh sebuah pernyataan yang menurut hemat ana agak mengherankan.

Apapun pada akhirnya kita tetap berpegang pada kaidah:

أقوال أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها

"Pendapat ahli ilmu itu tetap butuh dalil dan (semata-mata pendapat Ulama) bukanlah dalil". (Al-Muraja’ah wa At-Tadqiiq As-Syar’i, karya Dr. Muhammad Al-Faatih Mahmud Basyiir Al-Maghribi hal.213)

Karena itulah tidak mengherankan Imam Mula Ali Al-Qari rahimahullah saat menyortir perkataan Imam Nawawi rahimahullah di atas, beliau diantaranya bekata: "Tidak diragukan bahwa perkataan Imam Nawawi rahimahullah ini mengandung unsur-unsur yang kontradiktif". (Mirqatul Mafaatih VII:2963)

Terkait dengan metodologi UAH yang membolehkan itu dengan kemuthlakkan hadits keutamaan berjabat tangan. Perhatikan, saat Imam Nawaw memperolehkan bersalaman-salaman setiap kali sehabis shalat Shubuh dan Ashar yang padahal Imam Nawawi rahimahullah sendiri dari awal menetapkan bahwa hal ini sebenarnya tidak memiliki sumber syariat, tetapi beliau membolehkan hal ini juga bukan karena kaidah kemuthlakkan hadits keutamaan bersalam-salaman sebagaimana yang difahama UAH.

Andai metodologi semacam ini benar, mungkin itulah waktu yang tepat bagi Imam Nawawi rahimahullah untuk membolehkan hal itu dengan metodologi yang dibawa UAH.

Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali rahimahullah saat beliau ditanya tentang kebiasaan bersalam-salaman setiap kali habis shalat, maka beliau menjawab:

الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم

"Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunnahkan, bahkan itu adalah bid’ah. Wallahu A’lam". (Majmu’ Fatawa XXIII:339)

Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata:

المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل

"Bersalam-salaman setelah bersalamnya imam (dari shalatanya), maka itu tidak memiliki sumber hukum". (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baaz XXIX:313)

Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al-Aqil hafidzhahullah berkata:

المصافحة سنة مؤكدة، ومحلها عند التلاقي، فإذا التقى الإنسان بأخيه المسلم سُنّ له أن يسلم عليه ويصافحه. وأما تخصيص المصافحة بعد الفراغ من الصلاة فهذا ليس بمشروع، لاسيما إذا اعتقده سُنّة، وكون الرجل قد اجتمع بمن يليه قبل الصلاة ثم صافحه بعد الصلاة فهذا من البدع التي ينهى عنها؛ لأنه لم يكن من عمل النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه وتابعيهم من السلف الصالح رضوان الله عنهم. وفي الحديث: من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Bersalam-salaman (hukum asalnya -pent) sunnah yang amat dintekankan. Hal ini dilakukan saat awal berjumpa. Maka, jika seseorang menjumpai saudaranya yang muslim, disunnahkan baginya untuk mengucapkan salam padanya dan lalu menjabat tangannya. Adapun mengkhususkan bersalam-salaman setiap kali selesai dari shalat, maka hal ini tidak syariatkan. Terlebih lagi jika ia menganggapnya sebagai suatu sunnah.

Maka, jika seseorang berkumpul bersama temannya  yang ada di sampingnya sebelum shalat, lalu menyengaja menjabat tangannya lagi setelah shalat, maka ini termasuk bid'ah yang di cegah dari melakukannya. Karena hal ini sama sekali tidak termasuk perbuatan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhiallahu ‘anhum dan juga tidak dilakukan oleh yang mengikuti mereka dari kalangan Shalafush Shalih ridhwanallahi ‘alaihim. Sementara dalam hadits ditegaskan, "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan ibadah yang tidak diperintahkan aku, maka amalnnya itu tertolak". https://ar.islamway.net/fatwa/25491/

Ketiga Ulama terakhir yang ana bawakan di atas kesemuanya juga menetapkan bid’ahnya hal itu. Andai saja kemutlakkan hadits keutamaan bersalaman ini bisa dibawa pengertiannya pada seperti apa yang dikatakan oleh UAH, sudah barang tentu isinya ketiga Imam itu telah mendahuluinya. Karena jelas mereka lebih faham tentang kaidah dan metodologi penerapan syariat yang shahih.

Kesimimpulannya, menyengaja bersalama-salaman setelah shalat fardhu secara langsung dengan menjadikan sebagai kebiasaan apalagi menganggap sebagai sunnah maka hal ini adalah bid'ah. Hadits yang muthlak berisi keutamaan anjuran bersalaman bagi seorang muslim tidak bisa dijadikan dalil untuk menetapkan sunnahnya bersalaman pada waktu-waktu khusus seperti setiap habis shalat fardhu dan sebagainya. Karenanya alasan UAH membolehkan hal ini dengan metodologi penetapan hukum yang beliau kemukan itu tidaklah tepat.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

_____
Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

Group WhatsApp: wa.me/62895383230460

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

2 komentar untuk "Hukum Bersalam-salaman Setelah Shalat"

  1. menurut imam syafii bagaimana ya ustad? karena setau saya uah syafii?
    terimak
    kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya UAH Syafii bagaimanakah tanggapan mereka..???

      Hapus

Berkomentarlah dengan bijak