Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengambil Keuntungan Berdagang Lebih Dari Seratus Persen






Oleh Ustadz Berik Said hafidzhahullah

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275)

Allah Ta’ala juga berfirman:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”. (QS. Al-Baqarah: 198)

Atas dasar ini maka para Ulama menetapkan:

أن الأصل في العقود والمعاملات الإباحة ولا يحرم منها إلا ما ورد الشرع بتحريمه

“Hukum asal perjanjian dan mu'amalat (semisal perdagangan dan sebagainya -pent) adalah boleh dan tidak diharamkan kecuali jika ada nash syari'at yang mengharamkannya.“

Kaidah di atas merupakan kaidah yang dinyatakan oleh sebagian besar Ulama kalangan Madzhab Hanafi (Tabyiinul Haqoo’iq IV:78), Ulama Madzhab Maliki (ad Dzakhiroh I:155), Ulama Madzhab Syafi’I (ar Risaalah karya Imam Syaf’I rahimahullah hal.232) dan Madzhab Hanbali (al Mughni IV:429)

Bahkan Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan telah diceritakan oleh sebagian Ulama bahwa kaidah ini merupakan Ijma’ seluruh Ulama. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikan II:166)

Maka atas dasar ayat dan kaidah di atas kita bisa mengetahui bahwa  barangsiapa menyatakan misal suatu urusan atau sistem petdagangan hukumnya makruh atau haram, maka dia yang wajib membawa dalil. Kalau ia tak mampu mendatangkan dalil yang shahih, maka hukum asalnya adalah boleh.

Jadi jangan tanya orang yang memperbolehkan suatu sistem perdagangan "mana dalil yang membolehkannya"  tetapi tanya kepada yang memakruhkan apalagi mengharamkannya "mana dalil yang melarangnya".

Jika dia mampu membawakan dalil yang shahih dan sharih (jelas), maka wajib diterima, jika dia tak mampu mendatangkan dalil yang melarangnya, maka harus dikembalikan ke hukum asal/hukum pokok yakni asal hukum urusan perdagangan semuanya boleh sampai ada dalil yang melarangnya.

Sebagai contoh, kalau ada yang bertanya apa hukum dagang dengan cara curang?

Lihatlah adakah dalil yang melarangnya? Jika ada, maka baru ditetapkan cara itu dilarang.

Tentu saja dalam contoh di atas yang berdagang dengan cara curang terlalu banyak dalil yang menunjukkan keharamannya.

Nah jika kaidah ini telah antum fahami, maka kita masuk pada persoalan di atas, yakni bagaimana hukum berdagang dengan mengambil keutungan lebih dari seratus persen?

Jika mengikuti kaidah awal, yakni asal hukum urusan dagang adalah boleh, maka tentu tidak mengapa mengambil keuntungan lebih dari seratus persen selagi perdagangan tersebut tak ada kecurangan, penipuan dan lain-lain perkara yang menyelisihi syari'at.

Jika ada yang berpendapat haram mengambil keuntungan lebih dari seratus persen, maka dia wajib mendatangkan dalil yang shahih dan sharih. Kalau ia tak mampu mendatangkan dalil yang shahih dan jelas, maka hukumnya dikembalikan ke kaidah mu'amalat yakni boleh.

Sekarang, adakah dalil yang memberi batasan maksimal seseorang dalam mengambil keuntungan suatu perdagangan.

Jawabannya, sepanjang yang ana ketahui tidak ada. (bagi yang berkata ada, silahkan bawakan dan tujukan kepada ana, syukur lengkap dengan sumber rujukannya)

Bahkan terdapat suatu atsar yang menunjukkan bahwa ada Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pernah menjual sesuatu dengan keuntungan hampir ribuan persen.

Perhatikan atsar berikut:

وَكَانَ الزُّبَيْرُ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمِائَةِ أَلْفٍ ، فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأَلْفِ أَلْفٍ وَسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ

"Zubair radhiallahu ‘anhu pernah membeli tanah seharga 170.000, lantas tanah tersebut dijual oleh putranya, yakni Abdullah bin Zubair radhiallhu ‘anhuma Abdullah bin Zubair seharga 1.600.000." [HSR. Bukhari no.3129]

Lihat atsar di atas, modalnya 170.000, dijual 1.600.000. Hitung sendiri olehmu berapa ratusan bahkan berapa ribu persen keuntungannya. Itu tidak mengapa. Walau begitu pengambilan keuntungan dari suatu transaksi yang sangat besar tetap harus dengan memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:

Ketentuan Pertama, tidak boleh melakukan ghobn (pembodohan), yang dimaksud ghobn atau pembodohan ilustrasinya sebagai berikut,

Ada suatu barang yang di pasaran umum telah dikenal harganya memiliki hampir kesamaan harga (harga standar), kalaupun berbeda selisihnya hanya sedikit. Mungkin di zaman kita ini semacam harga elektronik.

Ambil contoh nyata misal harga HP tipe A itu telah diketahui nilai pasaran 1 juta rupiah, lalu datang pembeli yang kelihatannya pembeli ini amat awam. Lalu kita melakukan pembodohan kepadanya dengan mengatakan harganya misal tiga juta. Ini kita lakukan secara sengaja karena kita tahu pembelinya orang udik sehingga bisa kita lakukan pembodohan. Mungkin kata orang Jawa “Ngadang lengere atau ngadang orang kelilipan“. Maka ini haram hukumnya.

Ini sudah masuk penipuan, makar, tipu daya dan mengelabui orang awam.

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang curang (terutama dalam mu’amalah -pent) berlaku terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Dan perbuatan makar serta tipu daya itu tempatnya di neraka." [HR. Ibnu Hibban no.567, Thabrani no.10234, dan lain-lain]

Kata Al Haitsami Al Makki  rahimahullah dalam az Zawaajir [I:244]: “Jayyid/Bagus“, kata Ar Ruba’i rahimahullah dalam Fathul Ghoffaar [III:1144]: “Jayyid/Bagus“, kata Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jaami’ [6408]: "Shahih“

Ketentuan Kedua, termasuk barang yang tak boleh mengambil keuntungan dengan selisih besar dalam hal ini adalah,

Barang-barang yang telah diputuskan pemerintah kisaran harganya.

Ketentuan Ketiga, menjual harga setinggi langit saat barang tersebut sedang tak ada di pasaran, sementara barang tersebut adalah barang yang amat sangat dibutuhkan konsumen dan darurat, seperti kebutuhan makanan pokok dan sebagainya. (Rincian masalah ini semoga nanti bisa diulas dalam tulisan tersendiri, insya Allah)

Intinya menjual suatu produk dengan mengambil keuntungan itu, tak ada batasan maksimal presentasinya selagi memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana sebagiannya telah ana sebutkan di atas.

Untuk memperjelas masalah ini kami kutipkan Fatwa Lajnah Ad Da'imah (Ulama Saudi Arabia) berikut:

ليست الأرباح في التجارة محدودة , بل تتبع أحوال العرض والطلب , كثرة وقلة ، لكن يستحسن للمسلم تاجراً أو غيره أن يكون سهلاً سمحاً في بيعه وشرائه , وألا ينتهز فرصة غفلة صاحبه , فيغبنه في البيع أو الشراء , بل يراعي حقوق الأُخوّة الإسلامية

"Mengambil presentasi keuntungan dari suatu perdagangan tidak memiliki batasan (maksimal) tertentu. Tetapi mengikuti kondisi permintaan dan stok barang, walaupun demikian dianjurkan bagi para pedagang untuk memberikan kemudahan terhadap konsumen saat bertransaksi. Ingat, jangan sampai memanfaatkan kelalain pembeli, lantas melakukan pembodohan saat bertransaksi. Bahkan untuk terus memperhatikan persaudaraan islam." (Fatawa Lajnah Daimah, no. 6161)

Kesimpulan, mengambil keuntungan dari suatu perdagangan lebih dari seratus persen pun tidak mengapa selagi memenuhi berbagai persyaratan dan mempertimbangkan hal-hal yang kami tulis di atas.

Walhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin, wa shallallahu ‘alaa Muhammadin …

🔰 @Manhaj_salaf1

•┈┈•••○○❁🌻💠🌻❁○○•••┈┈•

Mau dapat Ilmu ?
Mari bergabung bersama GROUP MANHAJ SALAF

📮 Telegram     : http://t.me/Manhaj_salaf1
📱 Whatshapp  : 089665842579
🌐 Web              : dakwahmanhajsalaf.com
📷 Instagram    : bit.ly/Akhwat_Sallafiyah
🇫 Fanspage      : fb.me/DakwahManhajSalaf1

Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.

Posting Komentar untuk "Mengambil Keuntungan Berdagang Lebih Dari Seratus Persen"